Sering kami berjumpa di sini
hampir setiap malam hari
di malam kelam dan terang
kalau aku pergi ke belakang
mengambil air sembahyang
dan dia mencari sisa-sisa yang terbuang
di keranjang sampah dekat perigi.
Pernah dia terpijak
dan aku terkejut melompat.
Dia memekik kikik dan terus lari.
Mungkin dai marah dan mengutuki
sedang sekali-kali tidak kusengaja.
Timbul pertanyaan yang mengerikan dalam hati – Siapa di antara kami yang paling dikasihi Ilahi?
Aku, ataukah anjing belang kerdil kecil ini
dengan lidah yang meraba-raba sampah
di atas tanah?
Mimbar Indonesia, th. IV No. 4, 28 jan. 1950
Tidak ada komentar:
Posting Komentar