Minggu, 29 Agustus 2010

Bumi oleh Kahlil Gibran

Betapa indahnya engkau,
bumi, dan betapa agung! Betapa sempurna kepatuhanmy pada cahaya, dan betapa mulia penyerahanmu pada matahari!

Betapa cantiknya engkau, terselubung dalam bayangan, dan betapa mempesona wajahmu, tertutup oleh keasingan!

Betapa menyejukkan senandung fajarmu, dan betapa keras puji-pujian terhadap senjamu!

Betapa sempurnanya engkau, bumi, dan betapa
penuh keagungan!

Aku telah menapaki daratanmu, aku sudah mendaki gunung-gunungmu yang berbatu; aku telah menuruni bukit-bukitmu, aku telah memasuki gua-guamu.

Di daratan, aku menemukan mimpimu; di atas gunung aku menemukan kebanggaanmu; di lembah aku menyaksikan ketenanganmu; dalam bebatuan aku menyaksikan ketetapan hati; dan dalam gua kutemukan rahasiamu.

Engkau lemah sekaligus kuat, rendah hati, juga angkuh. Engkau liat dan keras, jelas dan tersembunyi.

Aku telah mengarungi lautanmu, menjelajahi sungai-sungaimu dan mengikuti kelokan-kelokanmu. Aku mendengar keabadian bersabda dalam pasang surutmu, dan zaman-zaman menggemakan lagumu ke seluruh perbukitan.

Aku mendengarkan kehidupan memanggil kehidupan di jalan setapak dan lereng-lereng pegununganmu.

Engkau adalah mulut dan bibir keabadian, untaian dan jari-jari waktu, misteri pemecahan kehidupan.

Musim semimu telah melemahkanku dan menuntunku menuju lading dan padang dimana nafasmu yang harum menyeruak di udara bagai dupa. Aku telah menyasikan musim panasmu.

Dalam musim gugur, di dalam kebun-kebun anggurmu, aku melihat darahmu mengalir laksana anggur.

Musim dingin mu menyeretku ke ranjangmu, di mana salju menegaskan kemurnianmu.

Dalam musim semi engkau adalah dupa yang harum semerbak; dalam musim panasmu engkau bermurah hati; dalam musim gugur engkau menjadi sumber kelimpahan.

Pada saat malam yang sunyi dan terang aku membuka jandela dan pintu-pintu jiwaku lalu keluar untuk melihat mu, hatiku sesak penuh nafsu dan keserakahan.

Aku melihatmu tengah memandangi bintang-bintang yang tersenyum padamu. Maka, aku pun melepaskan belenggu-belengguku karena aku sadar tempat tinggal jiwaku adalah di angkasa mu.

Hasrat-hasratnya tumbuh dalam hasratmu; kedamaiannya tumbuh dalam kedamaianmu; dan kebahagiannya berada dalam debu emas yang ditaburkan oleh bintang-bintang ke atas tubuhmu.

Suatau malam, saat langit berubah kelabu dan jiwaku diliputi keletihan dan kegelisahan, aku datang padamu. Dan engkau muncul di hadapanku seperti seorang raksasa, bersenjatakan badai yang mengamuk, memerangi masa lalu dangan masa kini, mengganti yang lama dengan yang baru , dan membiarkan yang kuat memeras yang lemah.

Kemudian aku mendengar bahwa hokum orang-orang adalah hukummu. Aku dengar bahwa dia yang tidak mematahkan ranting-rantingnya dengan praharanya, akan mati dengan kelelahan. Dan dia yang tidak menggunakan revolusi untuk menggugurkan daun-daunnya akan musnah perlahan-lahan.

Betapa murah hati engkau eahai bumi, dan betapa kuat kerinduanmu pada anak-anakmu yang tersesat di antara apa yang sudah mereka capai dan yang belum capai.

Kami berteriak-teriak dan engkau hanya tersenyum, kami pun kemudian melesat cepat, tapi engkau tetap tak beranjak!

Kami menyumpah serapah dan engkau mengabdi. Kami mengotori dan engkau menyucikan.

Kami tidur tanpa mimpi-mimpi, tetapi engkau bermimpi dalam keterjagaanmu yang abadi.

Kami menusuk dangan pedang dan tombak. Tapi engkau balut luka kami dengan minyak dan balsam.

Kami menanami ladangmu dengan tengkorak dan tulang-belulang, dan dari mereka engkau tumbuhkan cemara dan pohon-pohon willow.

Kami membuang sampah-sampah kami ke dalam dadamu, dan engkau malah mengisi lantai penggilingan kami dengan biji-biji jagung dan buah anggur.

Kami menggali unsur-unsur untuk membuat meriam dan bom, tapi di luar unsur-unsur itu engkau ciptakan bunga-bunga lili dan mawar.

Betapa sabarnya engkau wahai bumi, dan betapa murah hatnya engkau! Adakah engkau merupakan sebuah atom dari debu yang ditimbulkan oleh tapak-tapak kaki Tuhan ketika Dia berjalan dari ujung timur menuju ke barat semesta?

Ataukah percikan bunga api dari tungku keabadian? Atau engkau adalah sebuah biji yang dijatuhkan di atas lading cakrawala agar menjadi pohon yang ranting-ranting surgawinya mampu menyentuh angkasa?

Atau mungkinkan engkau merupakan setetes darah dalam urat nadi sang raksasa di antara raksasa, atau butiran di atas keningnya?

Apakah engkau buah yang dimatangkan oleh matahari? Apakah engkau tumbuh dari pohon-pohon pengetahuan tertinggi, yang akar-akarnya merambat melalui keabadian dan ranting-rantingnya menjulang melalui yang tak terbatas?

Apakah engkau permata yang diletakan oleh Penguasa Waktu di telapak tangan sang Penguasa Ruang?

Siapakah sebenarnya engkau, bumi, dan seperti apakah?
Engkau adalah “aku,” bumi!

Enkau adalah penglihatan dan ketajamanku. Engkau adalah pengetahuan dan mimpiku. Engkau adalah haus dan laparku; kesedihan dan kesenanganku. Engkau adalah ketidaksengajaanku dan kesadaranku. Engkau adalah keindahan yang menghidupkan mataku, kerinduan dalam hatiku, kehidupan abadi dalam jiwaku.

Engkau adalah “aku” bumi.
Seandainya kau bukan untukku, tentu kau takkan ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar